Lisna diary, menarik perhatian saya untuk membacanya. Saya pun berhenti lama untuk memaknai salah satu curahan hatinya, “AKU ANAK JUJUR”.
Lisna bercerita lewat ungkapan kata penuh kepolosan layaknya anak kelas 5 SD, “Kemarin aku ulangan Matematika soalnya susah bangeeet tapi aku berusaha menghitung dengan ditel tapi banyak teman-teman yang dikasih tau sama guru. Soalnya agak susah tapi aku nggak mencontek mungkin aku jarang belajar aku terlalu banyak main walaupun soalnya susah aku tidak mencontek mungkin nilainya kecil tapi aku tetap bangga karna hasil belajarku sendiri tanpa mencontek sama siapapun. Aku tetap jujur karena lebih baik jujur aku kemarin sebenarnya susah capek dan pusing tapi aku tetap jujur karna aku anak jujur yang sejati”.
Ironi. Siswa jujur harus berhadapan dengan oknum guru yang curang. Mestinya, guru mendidik siswanya untuk jujur. Ternyata, tak ada jaminan orang dewasa bisa bersikap lebih jujur ketimbang anak-anak.
Tempo hari, Alif, kisah anak jujur lainnya dari Surabaya yang tengah marak diperbincangkan dalam pemberitaan di media masa. Karena sikap jujurnya, Alif dan keluarganya menjadi buruan orang-orang yang merasa terganggu kepentingannya.
Di Indonesia, orang jujur dianggap berbahaya. Diamnya saja sudah berbahaya, apalagi jika buka suara mengungkap keborokan yang terjadi di lingkungannya. Alamak, inilah nasib orang jujur di negeri bumi pertiwi.
Apa yang tertulis di catatan harian Lisna memunculkan tanda tanya besar. Mengapa sekolah bisa jadi panggung pertunjukan kecurangan? Ingat, tak ada akibat tanpa sebab. Berapa banyak orang tua dan guru di hari ini yang selalu berpesan kepada anak-anaknya, “Jangan curang, nak!", “Jangan korupsi, nak!”, “Berlakulah jujur, nak!”. Sementara, di saat bersamaan, mereka seringkali berujar, “Jadilah anak pintar, nak!”, “Jadilah juara kelas, nak!”, “Jadilah juara olimpiade, nak!”.
Jangan pernah anggap sepele perkara ini. Setiap anak boleh dimotivasi untuk menjadi anak pintar, juara kelas, lulus masuk universitas terbaik. Namun, persoalannya terletak pada cara meraih itu semua. Sudah benarkah cara yang dilakukan anak-anak kita untuk menjadi juara olimpiade, juara kelas, dan meraih prestasi hebat lainnya? Jangan sepelekan persoalan ini, karena akan berakibat fatal bagi masa depan anak-anak kita.
Tanpa disadari, proses pembunuhan karakter (character assassination) pada diri anak telah dimulai sejak dini. Jika orang tuanya koruptor, apa yang akan terjadi pada diri anaknya? Setiap hari anaknya diberi asupan makanan dari hasil korupsi. Tak jarang pandangan dan perilaku curang yang dicontohkan orang tuanya bisa membentuk perilaku serupa pada diri anak.
Keluarga, tempat pertama dan utama pendidikan anak. Sadarilah. Anak akan selalu jadi korban proses pembunuhan karakter orang tuanya. Bersikap baiklah wahai para orang tua.
Kisah pembunuhan karakter pada diri anak, berlanjut di lingkungan sekolah. Mari kita cermati bersama, berapa banyak kasus yang mengangkat cerita tentang kasus tawuran pelajar, mencontek, kebocoran soal pada gelaran Ujian Nasional, dan cerita lainnya yang jauh dari kesan "mendidik".
Guru pandai mengajar tapi tak pandai mendidik, celaka dua belas. Kuasai ilmunya lalu sampaikan, syarat cukup menjadi guru pengajar. Tapi untuk menjadi pendidik, guru harus sadar dirinya adalah suri tauladan. Perbaiki dirinya terlebih dahulu, lalu didik anak-anaknya untuk berperilaku baik. Ingat, guru hebat bukan karena nilai Bahasa Inggris, ilmu Matematika, ilmu Fisika-nya cumlaude, melainkan: (1) Bisakah ia bakar semangat murid-muridnya untuk lebih giat belajar? (2) Bisakah ia sadarkan tanggung jawab muridnya akan apa yang harus mereka lakukan?
Menjadi baik di antara yang bodoh itu mudah. Namun, menjadi baik di antara yang rusak, jihad. Di Indonesia, kisah heroik seorang guru yang setia berperilaku baik memang jadi lakon yang selalu menarik untuk dicermati.
Gaji guru yang tak memadai, disadari atau tidak, telah memberi andil besar terjadinya kecurangan-kecurangan yang terjadi di sekolah. Mencontek dan memberi bocoran jawaban kepada siswa merupakan hal yang lumrah. Hari gini jadi guru jujur, pikir-pikir dulu. Jika zaman penjajahan dulu kita bisa bilang, "Revolusi Harga Mati". Sekarang, kita tak bisa hindari orang ungkap, "Korupsi Harga Nego". Gambaran sebuah perjuangan yang teramat berat melawan sistem yang korup.
Lisna mengingatkan kita, berperilaku jujur adalah pilihan. Andai Lisna berani mengingatkan gurunya untuk tak berlaku curang, ini pelajaran teramat berharga bagi dunia pendidikan kita. Jika gurunya membentak dan tidak menerima nasihat Lisna, memang sosok guru seperti ini layak "ditendang" dan dijauhkan dari lingkungan sekolah. Namun, jika guru Lisna menyadari kekeliruannya, meminta maaf, dan bertobat, siapa yang bisa petik hikmah dari peristiwa ini?
Banyak orang "merasa pintar", berapa banyak orang yang "pintar memaknai"? Apakah Anda bisa memaknai kisah Lisna, Anak Jujur Sejati? Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya kejujuran membimbing ke arah sesuatu kebaikan, dan kebaikan itu membimbing(nya) ke surga. Seseorang lelaki yang bersikap jujur, sehingga ia berada di sisi Allah sebagai orang yang jujur dan benar. Sedangkan dusta membimbing kepada kejahatan. Lalu kejahatan itu menyeret ke neraka. Seseorang lelaki yang biasa berdusta, maka akan berada di sisi Allah dan kelak sebagai orang pendusta” (HR. Bukhari & Muslim).
Lisna bercerita lewat ungkapan kata penuh kepolosan layaknya anak kelas 5 SD, “Kemarin aku ulangan Matematika soalnya susah bangeeet tapi aku berusaha menghitung dengan ditel tapi banyak teman-teman yang dikasih tau sama guru. Soalnya agak susah tapi aku nggak mencontek mungkin aku jarang belajar aku terlalu banyak main walaupun soalnya susah aku tidak mencontek mungkin nilainya kecil tapi aku tetap bangga karna hasil belajarku sendiri tanpa mencontek sama siapapun. Aku tetap jujur karena lebih baik jujur aku kemarin sebenarnya susah capek dan pusing tapi aku tetap jujur karna aku anak jujur yang sejati”.
Ironi. Siswa jujur harus berhadapan dengan oknum guru yang curang. Mestinya, guru mendidik siswanya untuk jujur. Ternyata, tak ada jaminan orang dewasa bisa bersikap lebih jujur ketimbang anak-anak.
Tempo hari, Alif, kisah anak jujur lainnya dari Surabaya yang tengah marak diperbincangkan dalam pemberitaan di media masa. Karena sikap jujurnya, Alif dan keluarganya menjadi buruan orang-orang yang merasa terganggu kepentingannya.
Di Indonesia, orang jujur dianggap berbahaya. Diamnya saja sudah berbahaya, apalagi jika buka suara mengungkap keborokan yang terjadi di lingkungannya. Alamak, inilah nasib orang jujur di negeri bumi pertiwi.
Apa yang tertulis di catatan harian Lisna memunculkan tanda tanya besar. Mengapa sekolah bisa jadi panggung pertunjukan kecurangan? Ingat, tak ada akibat tanpa sebab. Berapa banyak orang tua dan guru di hari ini yang selalu berpesan kepada anak-anaknya, “Jangan curang, nak!", “Jangan korupsi, nak!”, “Berlakulah jujur, nak!”. Sementara, di saat bersamaan, mereka seringkali berujar, “Jadilah anak pintar, nak!”, “Jadilah juara kelas, nak!”, “Jadilah juara olimpiade, nak!”.
Jangan pernah anggap sepele perkara ini. Setiap anak boleh dimotivasi untuk menjadi anak pintar, juara kelas, lulus masuk universitas terbaik. Namun, persoalannya terletak pada cara meraih itu semua. Sudah benarkah cara yang dilakukan anak-anak kita untuk menjadi juara olimpiade, juara kelas, dan meraih prestasi hebat lainnya? Jangan sepelekan persoalan ini, karena akan berakibat fatal bagi masa depan anak-anak kita.
Tanpa disadari, proses pembunuhan karakter (character assassination) pada diri anak telah dimulai sejak dini. Jika orang tuanya koruptor, apa yang akan terjadi pada diri anaknya? Setiap hari anaknya diberi asupan makanan dari hasil korupsi. Tak jarang pandangan dan perilaku curang yang dicontohkan orang tuanya bisa membentuk perilaku serupa pada diri anak.
Keluarga, tempat pertama dan utama pendidikan anak. Sadarilah. Anak akan selalu jadi korban proses pembunuhan karakter orang tuanya. Bersikap baiklah wahai para orang tua.
Kisah pembunuhan karakter pada diri anak, berlanjut di lingkungan sekolah. Mari kita cermati bersama, berapa banyak kasus yang mengangkat cerita tentang kasus tawuran pelajar, mencontek, kebocoran soal pada gelaran Ujian Nasional, dan cerita lainnya yang jauh dari kesan "mendidik".
Guru pandai mengajar tapi tak pandai mendidik, celaka dua belas. Kuasai ilmunya lalu sampaikan, syarat cukup menjadi guru pengajar. Tapi untuk menjadi pendidik, guru harus sadar dirinya adalah suri tauladan. Perbaiki dirinya terlebih dahulu, lalu didik anak-anaknya untuk berperilaku baik. Ingat, guru hebat bukan karena nilai Bahasa Inggris, ilmu Matematika, ilmu Fisika-nya cumlaude, melainkan: (1) Bisakah ia bakar semangat murid-muridnya untuk lebih giat belajar? (2) Bisakah ia sadarkan tanggung jawab muridnya akan apa yang harus mereka lakukan?
Menjadi baik di antara yang bodoh itu mudah. Namun, menjadi baik di antara yang rusak, jihad. Di Indonesia, kisah heroik seorang guru yang setia berperilaku baik memang jadi lakon yang selalu menarik untuk dicermati.
Gaji guru yang tak memadai, disadari atau tidak, telah memberi andil besar terjadinya kecurangan-kecurangan yang terjadi di sekolah. Mencontek dan memberi bocoran jawaban kepada siswa merupakan hal yang lumrah. Hari gini jadi guru jujur, pikir-pikir dulu. Jika zaman penjajahan dulu kita bisa bilang, "Revolusi Harga Mati". Sekarang, kita tak bisa hindari orang ungkap, "Korupsi Harga Nego". Gambaran sebuah perjuangan yang teramat berat melawan sistem yang korup.
Lisna mengingatkan kita, berperilaku jujur adalah pilihan. Andai Lisna berani mengingatkan gurunya untuk tak berlaku curang, ini pelajaran teramat berharga bagi dunia pendidikan kita. Jika gurunya membentak dan tidak menerima nasihat Lisna, memang sosok guru seperti ini layak "ditendang" dan dijauhkan dari lingkungan sekolah. Namun, jika guru Lisna menyadari kekeliruannya, meminta maaf, dan bertobat, siapa yang bisa petik hikmah dari peristiwa ini?
Banyak orang "merasa pintar", berapa banyak orang yang "pintar memaknai"? Apakah Anda bisa memaknai kisah Lisna, Anak Jujur Sejati? Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya kejujuran membimbing ke arah sesuatu kebaikan, dan kebaikan itu membimbing(nya) ke surga. Seseorang lelaki yang bersikap jujur, sehingga ia berada di sisi Allah sebagai orang yang jujur dan benar. Sedangkan dusta membimbing kepada kejahatan. Lalu kejahatan itu menyeret ke neraka. Seseorang lelaki yang biasa berdusta, maka akan berada di sisi Allah dan kelak sebagai orang pendusta” (HR. Bukhari & Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar