PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR IPS
MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL NUMBERED HEAD TOGETHER
Oleh :
WP. HADI WASIS
1. Latar Belakang Masalah
Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam
menentukan kualitas dari kuantitas pengajaran yang dilaksanakan. Oleh sebab
itu, guru harus memikirkan dan membuat perencanaan secara seksama dalam
meningkatkan kesempatan belajar bagi siswanya dan memperbaiki kualitas
mengajarnya.
Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam
mengorganisasikan kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar mengajar,
maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses nelajar mengajar.
Guru berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar, bertindak sebagai
fasilitator yang berusaha menciptakan kondisi belajar mengajar yang efektif,
sehingga memungkinkan proses belajar mengajar mengembangkan bahan pelajaran
dengan baik, dan meningkatkan kemampuan siswa untuk menyimak pelajaran dan
menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai. Untuk memenuhi hal
tersebut di atas, guru dituntut mampu mengelola proses belajar mengajar yang
memberikan rangsangan kepada siswa, sehingga ia mau belajar karena siswalah
subjek utama dalam belajar.
Kegiatan
belajar bersama dapat membantu memacu belajar aktif. Kegiatan belajar mengajar
di kelas memang dapat menstimulasi belajar aktif. Namun kemampuan untuk
mengajar melalui kegiatan kerjasama kelompok kecil akan memungkinkan untuk
menggalakkan kegiatan belajar aktif dengan cara khusus. Apa yang didiskusikan
siswa dengan teman-temannya dan apa yang diajarkan siswa kepada teman-temannya
memungkinkan mereka untuk memperoleh pemahaman dan penguasaan materi pelajaran.
Pembelajaran
IPS tidak lagi mengutamakan pada penyerapan melalui pencapaian informasi,
tetapi lebih mengutamakan pada pengembangan kemampuan dan pemprosesan
informasi. Untuk itu aktifitas peserta didik perlu ditingkatkan melalui
latihan-latihan atau tugas dengan bekerja dalam kelompok kecil dan menjelaskan
ide-ide kepada orang lain. (Hartoyo, 2002:24)
Metode pembelajaran koorperatif model Numbered Head
Together adalah suatu pengajaran yang melibatkan siswa untuk bekerja dalam
kelompok-kelompok untuk menetapkan tujuan bersama. Motivasi belajar adalah
suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku
untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, atau keadaan dan kesiapan dalam
diri dindividu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam
mencapai tujuan tertentu. Prestasi belajar adalah hasil belajar yang dinyatakan
dalam bentuk nilai atau dalam bentuk skor, setelah siswa mengikuti pelajaran.
2. Landasan Hasil Belajar
Di dalam istilah hasil belajar, terdapat dua unsure di
dalamnya, yaitu unsure hasil dan unsure belajar. Hasil merupakan suatu hasil
yang telah dicapai pembelajar dalam kegiatan belajarnya (dari yang telah
dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya), sebagaimana dijelaskan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (1995:787). Dari pengertian ini, maka hasil belajar
adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata
pelajaran, lajimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang
diberikan oleh guru.
Belajar itu sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku, atau menaknai sesuatu yang diperoleh. Akan tetapi apabila kita berbicara
tentang hasil belajar, maka hal itu merupakan hasil yang telah dicapai oleh si
pembelajar.
Istilah hasil belajar mempunyai hubungan yang erat
kaitannya dengan prestasi belajar. Sesungguhnya sangat sulit untuk membedakan
pengertian prestasi belajar dengan hasil belajar. Ada yang berpendapat bahwa pengertian hasil
belajar dianggap sama dengan pengertian prestasi belajar. Akan tetapi lebih
dahulu sebaiknya kita simak pendapat yang mengatakan bahwa hasil belajar
berbeda secara prinsipil dengan prestasi belajar. Hasil belajar menunjukkan
kualitas jangka waktu yang lebih panjang, misalnya satu cawu, satu semester,
dan sebagainya. Sedangkan prestasi belajar menunjukkan kualitas yang lebih
pendek, misalnya satu pokok bahasan, satu kali ulangan harian dan sebagainya.
Nawawi (1981:100) mmengemukakan pengertian hasil
adalah sebagai berikut : keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran
di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau skor dari hasil tes mengenai
sejumlah pelajaran tertentu.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sandly (1977:904), yang
memberikan penjelasan tentang hasil belajar sebagai berikut, “Hasil yang
dicapai oleh tenaga atau daya kerja seseorang dalam waktu tertentu”, sedangkan
Marimba (1978:143) mengatakan bahwa “Hasil adalah kemampuan seseorang atau
kelompok yang secara langsung dapat diukur”.
Menurut Nawawi (1981:127), berdasarkan tujuannya,
hasil belajar dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
a.
Hasil belajar yang berupa kemampuan ketrampilan atau
kecakapan di dalam melakukan atau mengerjakan suatu tugas, termasuk di dalamnya
ketrampilan menggunakan alat.
b.
Hasil belajar yang berupa kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan
tentang apa yang dikerjakan.
c.
Hasil belajar yang berupa perubahan sikap dan tingkah
laku.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil
Belajar
Sejak awal dikebangkannya ilmu pengetahuan tentang
perilaku manusia, banyak dibahas mengenai bagaimana mencapai hasil belajar yang
efektif. Para pakar dibidang pendidikan dan
spikologi mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
hasil belajar, para pelaksana maupun pelaku kegiatan belajar dapat memberi
intervensi positif untuik meningkatkan hasil belajar yang akan diperoleh.
Secara implisit, ada dua faktor yang mempengaruhi
hasil belajar anak, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
a.
Faktor Internal
Faktor internal meliputi faktor
fisiologis, yaitu kondisi jasmani dan keadaan fungsi-fungsi fisiologis. Faktor
fisiologis sangat menunjang atau melatar belakangi aktivitas belajar. Keadaan
jasmani yang sehat akan lain pengaruhnya disbanding jasmani yang keadaannya kurang
sehat. Untuk menjaga agar keadaan jasmani tetap sehat, nutrisi harus cukup. Hal
ini disebabkan kekurangan kadar makanan akan mengakibatkan keadaan jasmani
lemah yang mengakibatkan lekas mengantuk dan lelah.
b.
Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal, yaitu
dari luar diri anak yang ikut mempengaruhi belajar anak, yang antara lain
berasal dari orang tua, sekolah dan masyarakat.
1.
Faktor yang berasal dari orang tua
Faktor yang berasal dari orang
tua ini utamanya adalah sebagai cara mendidik orang terhadap anaknya.dalam hal
ini dapat dikaitkan suatu teori, apakah orang tua mendidik secara demokratis,
pseudo demokratis, otoriter, atau cara laisses
faire. Cara atau tipe mendidik yang demikian masing-masing mempunyai
kebaikannya dan ada pula kekurangannya.
2.
Faktor yang berasal dari sekolah
Faktor yang berasal dari
sekolah, dapat berasal dari guru, mata pelajaran yang di tempuh, dan metode
yang diterapkan. Faktor guru banyak menjadi penyebab kegagalan belajar anak,
yaitu yang menyangkut kepribadian guru, kemampuan mengajarnya. Terhadap mata
pelajaran, karena kebanyakan anak memusatkan perhatiannya kepada yang diminati
saja, sehingga mengakibatkan nilai yang diperolehnya tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Ketrampilan, kemampuan, dan kemauan belajar anak tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh atau campur tangan orang lain. Oleh karena itu menjadi
tugas guru untuk membimbing anak dalam belajar.
3.
Faktor yang berasal dari masyarakat
Anak tidak lepas dari kehidupan
masyarakat. Afktor mesyarakat bahkan sangat kuat pengaruhnya terhadap
pendidikan anak. Pengaruh masyarakat bahkan sulit dikendalikan. M endukung atau
tidak mendukung perkembangan anak, masyarakat juga ikut mempengaruhi.
Selain beberapa faktor internal dan eksternal di atas,
faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat disebutkan sebagai berikut :
a.
Minat
Seorang yang tidak berminat mempelajari sesuatu tidak akan berhasil
dengan baik, tetapi kalau seseorang memiliki minat terhadap objek masalah maka
dapat diharapkan hasil baik. Masalahnya adalah bagaimana seorang pendidik
selektif dalam menentukan atau memilih masalah atau materi pelajaran yang
menarik siswa. Berikutnya mengemas materi yang dipilih dengan metode yang
menarik. Karena itu pendidik atau pengajar perlu mengenali karakteristik siswa,
misalnya latar belakang social ekonomi, keyakinan, kemampuan dan lain-lain.
b.
Kecerdasan
Kecerdasan memegang peranan penting dalam menetukan berhasil tidaknya
seseorang. Orang pada umumnya lebih mampu belajar dari pada orang yang kurang
cerdas. Berbagai penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara tingkat
kecerdadan dan hasil belajar di sekolah (Sumadi, 1989:11).
c.
Bakat
Bakat merupakan kemampuan bawaan sebagai potensi yang perlu dilatih dan
dikembangkan agar dapat terwujud (Utami, 1992:17). Bakat memerlukan latihan dan
pendidikan agar suatu tindakan dapat dilakukan pada masa yang akan datang.
Selain kecerdasan bakat merupakan faktor yang menentukan berhasil tidaknya
seseorang dalam belajar (Sumadi, 1989:12). Belajar pada bidang yang sesuai
dengan bakatnya akan memperbesar kemungkinan seseorang untuk berhasil.
d.
Motivasi
Matovasi merupakan dorongan yang ada pada diri anak untuk melakukan
sesuatu tindakan. Besar kecilnya motivasi banyak dipengaruhi oleh kebutuhan
individu yang ingin dipenuhi (Suharsimi, 1993:88). Ada dua macam motivasi yaitu motivasi
instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrisik adalah motivasi motivasi
yang ditimbulkan dari dalam diri orang yang bersangkutan. Sedangkan, motivasi
ekstrinsik adalah motivasi yang timbul oleh rangsangan dari luar atau motivasi yang
disebabkan oleh faktor-faktor dari luar situasi belajar, misalnya angka,
ijazah, tingkatan, hadiah, persaingan, pertentangan, sindiran, cemoohan dan
hukuman. Motivasi ini tetap diperlukan di sekolah karena tidak semua pelajaran
sesaui dengan minat dan kebutuhan siswa.
4. Pengajaran Kooperatif
Pengajaran kooperatif (Cooperatif Learning) memerlukan pendekatan pengajaran melalui
pengunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi
belajar dalam mencapai tujuan belajar (Houlobec, 2001).
1.
Pengertian Pembelajaran Koopertif
Manusia memiliki derajat potensi,
latar belakang histories, serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Karena
adanya perbedaan, manusia dapat silih
asah (saling mencerdaskan). Pembelajaran kooperitif secara sadar menciptakan
interaksi yang silih asah sehingga
sumber belajar bagi siswa bukan hanya guru dan buku ajar tetapi juga sesame
siswa.
Manusia adalah makluk individual,
berbeda satu dengan sama lain. Karena sifatnya yang individual maka manusia
yang satu membutuhkan manusia lainnya sehingga sebagai konsekuensi logisnya
manusia harus menjadi makluk social, makluk yang berinteraksi dengan sesamanya.
Karena satu sama lain saling membutuhkan maka harus ada interaksi yang silih asah (saling menyayangi atau
saling mencintai). Pembelajaran kooperitif merupakan pembelajaran yang secara
sadar dan sengaja menciptakan interaksi yang saling mengasihi antar
sesamasiswa.
Perbedaan antar manusia yang tidak
terkelola secara baik dapat menimbulkan ketersinggungan dan kesalahpahaman antar
sesamanya. Agar manusia terhindar dari ketersinggungan dan kesalahpahaman maka
diperlukan interaksi yang silih asah
(saling tenggang rasa). Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara
sadar dan sengaja menciptakan interaksi yang silih asuh untuk menghindari
ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan. Dengan
ringkas Abdurrahman dan Bintoro (2000:78) mengatakan bahwa “pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematus mengembangkan
interaksi yang silih asah, silih asih, dan silih asuh antar sesame siswa sebagai latihan hidup di dalam
masyarakat nyata”.
2.
Unsur Dasar Pembelajaran Koopertif
Pembelajaran kooperatif adalah suatu
system yang di dalamnya terdapat elemen-lemen yang saling terkait. Adapun
berbagai elemen dalam pembelajaran kooperatif adalah adanya, (1) saling
ketergantungan potisif, (2) interaksi tatap muka, (3) akuntabilitas individual,
dan (4) ketrampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau ketrampilan
social yang secara sengaja diajarkan” (Abdurrahman & Bintoro, 2000:78-79).
a.
Saling ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana
yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling
membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling memberikan motivasi untuk meraih
hasil belajar yang optimal. Saling ketergantungan tersebut dapat dicapai
melalui, (a) saling ketergantungan pencapaian tujuan, (b) saling ketergantungan
dalam menyelesaikan tugas, (c) saling tergantungan bahan atau sumber, (d)
saling ketergantungan peran, dan (e) saling betergantungan hadiah.
b.
Interaksi tatap muka
Interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam kelompok
dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya
dengan guru, tetapi juga dengan sesame siswa. Interaksi semacam itu
memungkinkan para siswa dapat saling menjadi sumber belajar sehingga sumber
belajar lebih bervariasi. Interaksi semacam itu sangat penting karena ada siswa
yang merasa lebih mudah belajar dari sesamanya.
c.
Akuntabilitas individual
Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam
belajar kelompok. Meskipun demikian, penilaian ditujukan untuk
mengetahuipenguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil
penilaian secara individual tersebut selanjutnya disampaikan oleh guru kepada
kelompok agar semua anggota kelompok mengetahui siapa anggotanya yang
memerlukan bantuan dan siapa anggota kelompoknya yang dapat memberikan bantuan.
Nilai kelompok didasarkan atas rata-rata hasil belajar semua anggotanya, dank arena
itu tiap anggota kelompok harus memberikan urunan demi kemajuan kelompok.
Penilaian kelompok secara indivdiaul inilah yang dimaksudkan dengan
akuntabuilitas individual.
d.
Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi
Dalam pembelajaran kooperatif keterampilan social seprti
tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik
teman, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain,
mandiri, dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar
pribadi (interpersonal relationship)
tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja diajarkan. Siswa yang tidak dapat
menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya memperoleh teguran dari guru tetapi
juga dari sesame siswa.
3.
Peranan Guru dalam Pembelajaran Koopertif
Pembelajaran kooperatif menuntut guru
untuk berperan relative berbeda dari pembelajaran tradisional. Berbagai peran
guru dalam pembelajaran kooperatif tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut
ini.
a.
Merumuskan tujuan pembelajaran. Ada dua tujuan pembelajaran yang perlu
diperhatikan oleh guru, tujuan akademik (academic
abjectives) dan tujuan keterampilan bekerja sama (collaborative skill objectives). Tujuan akademik dirumuskan sesuai
dengan taraf perkembangan siswa dan analisis tugas atau analisis konsep. Tujuan
keterampilan bekerja sama meliputi keterampilan memimipin, berkomunokasi,
mempercayai orang lain dan mengelola konflik.
b.
Menentukan jumlah anggota dalam kelompok belajar.
Jumlah anggota dalam tiap kelompok belajar tidak boleh terlalu besar, biasanya
2 hingga 6 siswa. Ada
3 faktor yang menentukan jumlah anggota tiap kelompok belajar. Ketiga faktor
tersebut adalah (1) taraf kemampuan siswa, (2) ketersediaan bahan, dan (3)
ketersediaan waktu. Jumlah anggota kelompok belajar hendaknya kecil agar tiap
siswa aktif menjalin kerjasama menyelesaikan tugas. Ada empat pertanyaan yang hendaknya dijawab
oleh guru saat akan menempatkan siswa dalam kelompok. Keempat pertanyaan
tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.
Pengelompokkan siswa secara homogen atau heterogen ?
Pengelompokkan siswa hendaknya heterogen.
Keheterogenan kelompok mencakup jenis kelamin, ras, agama (kalau mungkin),
tingkat kemampuan (tinggi, sedang, rendah), dan sebagainya.
2.
bagaimana menempatkan siswa dalam kelompok ?
ada dua jenis kelompok belejar kooperatif,
yaitu (1) yang berorientasi bukan pada tugas (non-task-orientied), dan (2) yang berorientasi pada tugas (task-orientied). Kelompok belajar
kooperatif yang berorientasi bukan pada tugas menuntut adanya pembagian tugas
untuk tiap anggota kelompok.
Kebebasan memilih teman sering menyebabkan
kelompok belajar menjadi homogen sehingga tujuan belajar kooperatif tidak
tercapai. Anggota tiap kelompok belajar hendaknya ditentukan secara acak oleh
guru.
c.
Menentukan tempat duduk siswa.
Tempat duduk siswa hendaknya disusun agar tiap kelompok dapat saling
bertatap muka tetapi cukup terpisah antara kelompok yang satu dengan kelompok
lainnya. Susunan tempat duduk dapat dalam bentuk lingkatan atau
berhadap-hadapan.
d.
Merancang bahan untuk meningkatkan saling ketergantungan
positif. Cara menyusun bahan ajar dan penggunaannya dalam suatu kegiatan
pembelajaran yang dapat menentukan tidak hanya efektivitas pencapaian tujuan
belajar siswa. Bahan ajar hendaknya dibagikan kepada semua siswa agar merwka
dapat berpartisipasi dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Jika kelompok belajar telah memiliki cukup pengalaman, guru tidak
perlu membagikan bahan ajar dengan berbagai petunjuk khusus. Jika kelompok
belajar belum banyak pengalaman atau masih baru, guru perlu memberi tahun para
siswa bahwa mereka harus bekerja sama, bukan bekerja sendiri-sendiri. Ada 3 macam cara untuk
meningkatkan saling ketergantungan positif. Ketiga macam cara tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1.
Saling ketergantungan bahan. Tiap kelompok hanya diberi
satu bahan ajar dan kelompok harus bekerja sama untuk mempelajarinya.
2.
saling ketergantungan informasi. Tiap anggota kelompok
diberi bahan ajar yang berbeda untuk selanjutnya disatukan untuk disintesiskan.
Bahan ajar juga dapat disajikan dalam bentuk “Jigsaw Puzzle” sehingga dengan demikian tiap siswa memiliki bagian
dari bahan yang diperlukan untuk melengkapi atau menyelesaikan tugas.
3.
saling ketergantungan menghadapi lawan dari luar. Bahan
ajar disusun dalam suatu bentuk pertandingan antar kelompok yang memiliki
kekuatan keseimbangan sebagai dasar untuk meningkatkan saling ketergantungan
positif anatar anggota kelompok. Keseimbangan kekuatan antar kelompok perlu
diperhatikan karena pertandingan antara kelompok yang memiliki kekuatan
seimbang atau memiliki peluang untuk kalah atau menang yang sama dapat
meningkatkan motivasi belajar.
e.
Menentukan peran siswa untuk menunjang saling
ketergantungan positif. Saling ketergantungan positif dapat diciptakan melalui
pembagian tugas kepada tiap anggota kelompok dan mereka bekerja untuk saling
melengkapi. Dalam mata pelajaran IPA misalnya, seorang anggota kelompok diberi
tugas sebagai peneliti, yang lainnya sebagai penyimpul, yang lainnya sebagai
penulis, yang lainnya lagi sebagai pemberi semangat, dan ada pula yang menjadi
pengawas terjalinnya kerja sama. Penugasan untuk memerankan suatu fungsi
semacam itu merupakan metode yang efektif untuk melatih keterampilan menjalin
kerja sama.
f.
Menjelaskan tugas akademik. Ada beberapa aspek yang perlu disadari oleh
para guru dalam menjelaskan tugas akademik kepada para siswa.
Beberapa aspek tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.
Menysun tugas sehingga siswa menjadi jelas mengenai
tugas tersebut. Kejelasan tugas sangat penting bagi para siswa karena dapat
menghindarkan mereka dari frustasi atau kebingungan. Dalam pembelajaran
kooperatif siswa yang tidak dapat memahami tugasnya dapat ertanya kepada
kelompoknya sebelum bertanya kepada guru.
2.
Menjelaskan tujuan belajar dan mengaitkannya dengan
pengalaman siswa di masa lampau.
3.
Menjelaskan berbagai konsep atau pengertian atau
istilah, prosedur yang harus diikuti atau pengertian contoh kepada para siswa.
4.
Mengajukan berbagai pertanyaan khusus untuk mengetahui
pemahaman para siswa mengenai tugas mereka.
g.
Menjelaskan kepada siswa mengenai tujuan dan keharusan
bekerja sama.
Menjelaskan tujuan dan keharusan bekerja sama kepada para siswa dilakukan
dengan contoh sebagai berikut :
1.
Meminta kepada kelompok untuk menghasilkan suatu karya
atau produk tertentu. Jika karya kelompok berupa laporan, tiap anggota kelompok
harus menandatangani laporan tersebut sebagai tanda bahwa ia setuju dengan isi
laporan kelompok dan dapat menjelaskan alasan isi laporan tersebut.
2.
Menyediakan hadiah bagi kelompok. Pemberian hadiah
merupakan salah satu cara untuk emndorong kelompok menjalin kerja sama sehingga
terjalin pula rasa kebersamaan antar anggota kkelompok. Semua anggota kelompok
harus saling membantu agar masing-masing memperoleh skor hasil belajar yang
optimal karena keberhasilan kelompok ditentukan oleh keberhasilan tiap anggota.
h.
Menysuun akuntabilitas individual. Suatu kelompok
belajar tidak dapat diaktakan benar-benar kooperatif jika memperbolehkan adanya
anggota kelompok yang mengerjakan seluruh pekerjaan. Suatu kelompok belajar juga
tidak dpat dikatakan benar-benar kooperatif jika memperbolehkan adanya anggota
yang tidak melakukan apapun demi kelompok. Untuk menjamin agar seluruh anggota
kelompok benar-benar menjalin kerja sama dan agara seluruh anggota kelompok
benar-benar menjalin kerja sama dan agar kelompok mengetahui adanya anggota
kelompok yang memerlukan bantuan atau dorongan, guru harus sering melakukan
pengukuran untuk mengethaui taraf penguasaan tiap siswa terhadap materi
pelajaran yang sedang dipelajari.
i.
Menysuun kerja sama antar kelompokj. Hasil positif yang
ditemukan dalam suatu kelompok belajar kooperatif dapat diperluas ke seluruh
kelas dengan menciptakan kerja sama antar kelompok. Nilai tambahan dapat
diberikan jika seluruh siswa di dalam kelas meraih standar mutu yang tinggi.
Jika suatu kelompok telah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, para
anggotanya dapat diminta untuk membantu kelompok-kelompok lain yang belum
selesai. Upaya semacam ini memungkinkan terciptanya suasana kehidupan kelas
yang sehat, yang memungkinkan semua potensi siswa berkembang optimal dan
terintegrasi.
j.
Menjelaskan criteria keberhasilan. Penilaian dalam
pembelajaran kooperatif bertolak dari penilaian acuan patokan (criterion refernced). Pada awal kegiatan
belajar guru hendaknya menerangkan secara jelas kepada siswa mengenai bagaimana
pekerjaan mereka akan nilai.
k.
Menjelaskan perilaku siswa yang diharapkan. Perkataan
kerja sama atau gotong royong sering memiliki konotasi dan penggunaan yang
bermacam-macam. Oleh karena itu, guru perlu mendifinisikan perkataan kerja sama
tersebut secara operasional dalam bentuk berbagai perilaku tersebut antara lain
dapat dikemukakan dengan kata-kata seperti “tetaplah berada dalam kelompokmu”,
berbicaralah pelan-pelan”, berbicaralah menurut giliran,” dan sebagainya. Jika
kelompok mulai berfungsi secara efektif, perilaku yang diharapkan dapat
mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.
Tiap anggota kelompok menjelaskan bagaimana memperoleh
jawaban.
2.
Meminta kepada tiap anggota kelompok untuk mengaitkan
pelajaran baru dengan yang telah dipelajari sebelumnya.
3.
Memeriksa untuk meyakinkan bahawa semua anggota
kelompok memahami bahan yang dipelajari dan menyetujui jawaban-jawabannya.
4.
Mendorong semua anggota kelompok agar berpatisipasi
dalam menyelesaikan tugas.Memperhatikan dengan sungguh-sungguh mengenai apa
yang dikatakan oleh kelompok lain.
5.
Jangan mengubah pikiran karena berbeda dari pikiran
anggota lain tanpa penjelasan yang logis.Memberikan kritik kepada ide, bukan
kepada pribadi.
l.
Memantau perilaku siswa. Setelah semua kelompok mulai
bekerja, guru harus menggunakan sebagian besar waktunya untuk memantau kegiatan
siswa. Tujuan pemantauan, guru harus menjelaskan pelajaran, mengulang prosedur
atau strategi untuk menyelesaikan tugas, menjawab pertanyaan, dan mengajarkan
keterampilan menyelesaikan tugas kalau perlu.
m.
Memberikan bantuan kepada siswa dalam menyelesaian
tugas. Pada saat melakukan pemantauan, guru harus menjelaskan pelajaran,
menguolang prosedur atau strategi untuk menyelesaikan tugas, menjawab
pertanyaan, dan mengajarkan keterampilan menyelesaikan tugas kalau perlu.
n.
Melakukan intervensi untuk mengajarkan keterampilan
bekerja sama. Pada saat memantau kelompok-kelompok yang sedang belajar, guru
kadang-kadang menemukan siswa yang tidak memiliki keterampilan untuk menjalin
kerja sama yang cukup dan adanya kelompok yang memiliki masalah dalam menjalin
kerja sama. Dalam kondisi semacam itu, guru perlu memberikan masehat agar siswa
dapat bekerja efektif.
o.
Menutup pelajaran. Pada saat pelajaran berakhir, guru
perlu meringkas pokok-pokok pelajaran, meminta kepada siswa untuk mengemukakan
ide atau contoh, dan jawaban pertanyaan dan hasil belajar mereka.
p.
Menilai kualitas pekerjaan atau hasil belajar siswa.
Guru menilia kualitas pekerjaan atau hasil belajar para siswa berdasarkan
penuilaian acuan patokan. Para anggota
kelompok hendaknya juga diminta untuk memberikan umpan balik mengenai kualitas
pekerjaan dan hasil belajar mereka.
q.
Menilai kualitas kerja sama antar anggota kelompok.
Meskipun waktu belajar di kelas terbatas, diperlukan waktu untuk berdiskusi
dengan para siswa untuk membahas kualitas kerja sama antar anggota kelompok
pada hari itu. Pembicaraan dengan para siswa dilakukan untuk mengetahui apa
yang telah dilakukan dengan baik dan apa yang masih perlu ditingkatkan pada
hari berikutnya.
5. Model Numbered Head Together
Model ini dikembangkan oleh Spencer Kagan (1993)
dengan melibatkan para siswa dalam mereview bahan yang tercakup dalam suatu
pelajaran dan mengecek atau memeriksa pemahaman mereka mengenai isi pelajaran
tersebut. Sebagai pengganti pertanyaan langsung kepada seluruh kelas, guru
menggunakan strktur 4 langkah, yaitu sebagai berikut :
1.
Langkah 1 –
Penomoran (Numbering) : Guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok
atau tim yang beranggotakan 3 hingga 5 orang dan memberi mereka nomor sehingga
tiap siswa dalam tim tersebut memiliki nomor yang berbeda.
2.
langkah 2 –
Pengajuan Pertanyaan (Questoining) : Guru mengajukan suatu pertanyaan
kepada para siswa. Pertanyaan dapat bervariasi, dari yang berfisat spesifik
hingga yang bersifat umum. Contoh pertanyaan yang bersifat spesifik adalah
“Dimana letak kerajaan Tarumanegara?”, sedangkan contoh pertanyaan yang
bersifat umum adalah “Mengapa Dponegoro memberontak kepada pemerintah
Belanda?”.
3.
langkah 3 –
Berpikir Bersama (Head Together) : Para
siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan menyakinkan bahwa tiap orang
mengetahui jawaban tersebut.
4.
langkah 4 –
Pemberian Jawaban (Answering) : Guru menyebut satu nomor dan para siswa
dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan
jawaban untuk seluruh kelas.
6. Analisis Data Penelitian Persiklus
1.
Siklus I (Lampiran 1)
A.
Tahap perencanaan
Pada tahap ini peneliti
mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran I,
soal tes formatif I, dan alat-alat pengajaran yang mendukung.
B.
Tahap kegiatan dan pelaksanaan
Adapun proses belajar mengajar
mengacu pada rencana pelajaran yang telah dipersiapkan. Pengamatan (observasi)
dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar.
Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif I dengan
tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar
mengajar yang telah dilakukan.
Distribusi Aktivitas Minat Belajar Siswa
Dalam Kegiatan Siklus I
Responden
|
frekwensi
|
Aktivitas
|
Keterangan
|
|
Aktif
|
Kurang Aktif
|
|||
Siswa
|
30
|
20
|
10
|
Peneliti melakukan
evaluasi I
|
Dari data tersebut menunjukkan
bahwa keaktifan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar masih
terpengaruh oleh strategi tradisional (ceramah) dalam artian komunikasi satu
arah yang disampaikan oleh guru pada kegiatan belajar mengajar sebelumnya. Dari
30 responden, ada 20 siswa yang mendapatkan hasil evaluasi aktif, dengan
persentase keaktifan 66,67% dan 10 siswa mendapat frekuensi belajar kurang
aktif dengan persentase 33,33%. Dari hasil persentase tersebut menunjukkan
bahwa aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar mulai menunjukkan
aktivitas yang berarti.
Distribusi Hasil belajar Siswa
Dalam Kegiatan Siklus I
No
|
Interval Nilai
|
Frek
|
%
|
Kategori Prestasi Belajar
|
Keterangan
|
1
|
80 – 100
|
1
|
3,33%
|
Baik
|
-
Nilai rata-rata 1815 / 30 = 60,5
-
10 siswa Tuntas
-
20 siswa Tidak tuntas
|
2
|
60 – 79
|
9
|
30%
|
Sedang
|
|
3
|
59 ke bawah
|
20
|
66,67%
|
Kurang
|
Hasil belajar siswa yang
memperoleh hasil evaluasi belajar baik ada 1 siswa dengan persentase 3,33%,
yang tergolong sedang ada 9 siswa dengan persentase 30%, sedangkan hasil
belajar tergolong kurang 20 siswa dengan persentase 66,67%. Distribusi
rata-rata prestasi hasil belajar pada siklus I adalah 60,5.
C.
Refleksi
Dalam pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar diperoleh informasi dari hasil pengamatan sebagai berikut :
1.
Siswa masih mengalami kebingungan dalam mempelajari
materi yang disampaikan oleh guru.
2.
Siswa takut menyampaikan pendapat.
3.
Kegiatan diskusi kurang berjalan, masih didominasi oleh
siswa yang pandai.
D.
Refisi
Pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar pada siklus I masih terdapat kekurangan, sehingga perlu adanya refisi
untuk dilakukan pada siklus berikutnya.
1.
Penyampaian tujuan pembelajaran dan cara mempelajari
materi yang akan dipelajari.
2.
Memotivasi kembali siswa agar berani menyampaikan
pendapatnya.
3.
Membimbing siswa yang kurang mampu untuk dapat berperan
aktif dalam berdiskusi.
Selanjutnya untuk membuktikan
keefektifan pendekatan pembelajaran Kooperatif Number Head Together (NHT) dalam
kegiatan belajar mengajar dalam upaya peningkatan prestasi belajar siswa, akan
dijabarkan lebih lanjut pada kegiatan siklus II.
Adapun paparan penjabaran hasil
dari kegiatan pada siklus II ini adalah sebagai berikut :
2.
Siklus II (Lampiran 2)
A.
Tahap perencanaan
Pada tahap ini peneliti
mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran II,
soal tes formatif II, dan alat-alat pengajaran yang mendukung.
B.
Tahap kegiatan dan pelaksanaan
Adapun proses belajar mengajar
mengacu pada rencana pelajaran dengan memperhatikan revisi siklus I, sehingga
kesalahan atau kekurangan pada siklus I tidak terulang lagi pada siklus II.
Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar
mengajar.
Pada akhir proses belajar
mengajar siswa diberi tes formatif II dengan tujuan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Adapun
data hasil penelitian pada siklus II adalah sebagai berikut :
Distribusi Aktivitas Minat Belajar Siswa
Dalam Kegiatan Siklus II
Responden
|
frekwensi
|
Aktivitas
|
Keterangan
|
|
Aktif
|
Kurang Aktif
|
|||
Siswa
|
30
|
25
|
5
|
Peneliti melakukan
evaluasi II
|
Dari data tersebut menunjukkan
bahwa keaktifan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar sudah tidak
terpengaruh oleh strategi tradisional (ceramah) dalam artian siswa sudah dapat
belajar berdiskusi dengan sesame teman satu kelompok. Dari 30 responden, ada 25
siswa yang mendapatkan hasil evaluasi aktif, dengan persentase keaktifan 83,33%
dan 5 siswa mendapat frekuensi belajar kurang aktif dengan persentase 16,67%.
Dari hasil persentase tersebut menunjukkan bahwa aktivitas siswa dalam kegiatan
belajar mengajar mulai menunjukkan aktivitas yang berarti.
Distribusi Hasil belajar Siswa
Dalam Kegiatan Siklus II
No
|
Interval Nilai
|
Frek
|
%
|
Kategori Prestasi Belajar
|
Keterangan
|
1
|
80 – 100
|
5
|
16,67%
|
Baik
|
- Nilai
rata-rata 2115 / 30 = 70,5
- 21 siswa tuntas
- 9 siswa Tidak tuntas
|
2
|
60 – 79
|
16
|
53,33%
|
Sedang
|
|
3
|
59 ke bawah
|
9
|
30%
|
Kurang
|
Hasil belajar siswa yang
memperoleh hasil evaluasi belajar baik ada 5 siswa dengan persentase 16,67%,
yang tergolong sedang ada 16 siswa dengan persentase 53,33%, sedangkan hasil
belajar tergolong kurang 9 siswa dengan persentase 30%. Distribusi rata-rata
prestasi hasil belajar pada siklus II adalah 70,5.
C. Refleksi
Dalam pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar diperoleh informasi dari hasil pengamatan sebagai berikut :
1.
Aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mulai nampak
terlihat ada peningkatan dibandaingkan dengan kegiatan belajar mengajar
sebelumnya.
2.
Beberapa siswa cepat dalam mempelajari materi yang
disampaikan sehingga hasil evaluasi belajar yang dilakukan siswa tiak mengalami
kesulitan.
3.
Sebagian siswa sudah ada keberanian dalam menyampaikan
pendapat.
4.
Kegiatan diskusi sudah terkesan hidup dan berjalan,
tetapi masih didominasi oleh siswa yang pandai.
D. Revisi
Pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar pada siklus II masih terdapat kekurangan-kekurangan. Maka perlu adanya
revisi untuk dilaksanakan pada siklus II antara lain :
1.
Siswa kurang termotivasi selama kegiatan belajar mengajar.
2.
Masih ada sebagian siswa yang merasa takut untuk
menyampaikan pendapatnya.
3.
Siswa belum dapat merumuskan kesimpulan atau menemukan
konsep dengan tepat dan benar.
4.
Terhambatnya waktu kegiatan pembelajaran dalam
mengambilan kesimpulan atau menemukan konsep.
Selanjutnya untuk membuktikan
keefektifan pendekatan pembelajaran Kooperatif Number Head Together (NHT) dalam
kegiatan belajar mengajar dalam upaya peningkatan prestasi belajar, akan
dijabarkan lebih lanjut pada kegiatan siklus III.
Adapun paparan penjabaran hasil
dari kegiatan pada siklus III ini adalah sebagai berikut :
3.
Siklus III (Lampiran 3)
A.
Tahap perencanaan
Pada tahap ini peneliti
mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran III,
soal tes formatif III, dan alat-alat pengajaran yang mendukung.
B.
Tahap kegiatan dan pelaksanaan
Adapun proses belajar mengajar
mengacu pada rencana pelajaran dengan memperhatikan revisi siklus II, sehingga
kesalahan atau kekurangan pada siklus II tidak terulang lagi pada siklus III.
Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar
mengajar.
Pada akhir proses belajar
mengajar siswa diberi tes formatif III dengan tujuan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Adapun
data hasil penelitian pada siklus III adalah sebagai berikut :
Distribusi Aktivitas Minat Belajar Siswa
Dalam Kegiatan Siklus III
Responden
|
frekwensi
|
Aktivitas
|
Keterangan
|
|
Aktif
|
Kurang Aktif
|
|||
Siswa
|
30
|
29
|
1
|
Peneliti melakukan
evaluasi III
|
Dari data tersebut menunjukkan
bahwa keaktifan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar sudah melakukan
pendekatan pembelajaran kooperatif Numbered Head Together. Dari 30 responden,
ada 29 siswa yang mendapatkan hasil evaluasi aktif, dengan persentase keaktifan
96,67% dan 1 siswa mendapat frekuensi belajar kurang aktif dengan persentase
3,33%. Dari hasil persentase tersebut menunjukkan bahwa aktivitas siswa dalam
kegiatan belajar mengajar berjalan sebagai mana yang diharapkan.
Distribusi Hasil belajar Siswa
Dalam Kegiatan Siklus iII
No
|
Interval Nilai
|
Frek
|
%
|
Kategori Prestasi Belajar
|
Keterangan
|
1
|
80 – 100
|
20
|
66,67%
|
Baik
|
- Nilai rata-rata 2115 / 30
= 80%
- 30 siswa Tuntas
|
2
|
60 – 79
|
10
|
33,33%
|
Sedang
|
|
3
|
59 ke bawah
|
0
|
0%
|
Kurang
|
Hasil belajar siswa yang
memperoleh hasil evaluasi belajar baik ada 20 siswa dengan persentase 66,67%,
yang tergolong sedang ada 10 siswa dengan persentase 33,33%. Distribusi
rata-rata prestasi hasil belajar pada siklus II adalah 80.
Berdasarkan observasi dan
pengamatan yang dilakukan oleh peneliti didapatkan temuan sebagai berikut : (1)
terlihat ada peningkatan yang dignifikan terhadap aktivitas dan prestasi siswa
dalam mengikuti kgiatan belajar mengajar, (2) sebagian besar siswa lebih cepat
memahami dan mempelajari materi yang disampaikan oleh guru, (3) sebagian besar
siswa ada keberanian dalam menyampaikan pendapat, (4) kegiatan diskusi sudah
hidup dan berjalan lancar, dan tidak lagi didominasi oleh siswa yang pandai,
sehingga aktivitas siswa dalam belajar mempermudah pencapaian tujuan yang
direncanakan dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa strategi
pembelajaran kooperatif model Numbered Head Together sangat efektif dalam
meningkatkan minat belajar siswa.
C. Refleksi
Pada tahap ini dikaji apa yang
telah terlaksana dengan maupun yang masih kurang baik dalam proses belajar
mengajar dengan penerapan pembelajaran kooperatif model Numbered Head Together.
Dari data-data yang telah diperoleh dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Kekurangan pada siklus-siklus sebelumnya sudah mengalami
perbaikan dan peningkatan sehingga menjadi lebih baik.
2.
Hasil belajar siswa pada siklus III mencapai
ketuntasan.
3.
Masih ada satu siswa yang keaktifannya masih kurang,
hal ini menganggu aktivitas siswa lainnya.
4.
Selama proses belajar mengajar semua aspek telah
terlaksana semua dengan baik. Meskipun masih ada beberapa aspek yang belum
sempurna, tetapi persentase pelaksanaannya untuk masing-masing aspek cukup
besar.
D. Revisi
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada siklus III
telah diterapkan pembelajaran kooperatif Numbered Head Together dengan baik dan
terlihat aktivitas siswa serta hasil belajar siswa dalam proses belajar
mengajar sudah berjalan dengan baik. Maka tidak diperlukan revisi terlalu
banyak, tetapi yang perlu diperhatkan untuk tindak lanjutnya adalah
memaksimalkan dan mempertahankan apa yang telah ada dengan tujuan agar pada
pelaksanaan proses belajar mengajar selanjutnya penerapan pembelajaran
kooperatif Numbered Head Together dapat meningkatkan proses belajar mengajar
sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
7. Pembahasan
-
Ketuntasan Hasil Belajar Siswa
Melalaui hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pembelajaran kooperatif model Numbered Hea Together memiliki dampak positif
dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari semakin
mantapnya pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi yang telah disampaikan
guru selama ini (ketuntasan belajar meningkat dari siklus I, II, dan III) yaitu
masing-masing 66,67%, 70% dan 100%.
Sedangkan hasil prestasi belajar dari siklus I sampai
dengan siklus III ada peningkatan yaitu masing-masing adalah siklus I = 60,5,
siklus II = 70,5, dan siklus III = 80. pada siklus III ketuntasan dan prestasi
hasil belajar siswa secara klasikal telah tercapai.
-
Kemampuan Belajar Siswa
Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa
dalam proses pembelajaran kooperatif model Numbered Head Together dalam setiap
siklus mengalami peningkatan. Hal ini berdampak positif terhadap peningkatan
prestasi belajar siswa dan penguasaan materi pelajaran yang telah diterima
selam ini, yaitu dapat ditunjukkan dengan meningkatnya nilai rata-rata siswa
pada setiap siklus yang terus mengalami peningkatan.
-
Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran
Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa
dalam proses pembelajaran IPS dengan pembelajaran kooperatif model Numbered
Head Together yang paling dominant adalah, mendengarkan atau memperhatikan
penjelasan guru dan diskusi antar siswa atau antara siswa dengan guru. Jadi
dapat dikatakan bahwa aktivitas siswa dapat dikategorikan aktif.
8. Kesimpulan
Dari hasil kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan
selama tiga siklus, dan berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis yang
telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pembelajaran
kooperatif model Numbered Head Together memiliki dampak positif dalam
meningkatkan prestasi belajar siswa yang ditandai dengan peningkatan ketuntasan
belajar siswa dalam setiap siklus, yaitu 66,67%, 70%, dan 100%. Prestasi hasil belajar juga mengalami peningkatan
yaitu siklus I =
60,5, siklus II = 70,5, dan siklus III = 80.
2. Penerapan pembelajaran kooperatif model
Numbered Head Together mempunyai pengaruh positif, yaitu dapat meningkatkan
motivasi belajar siswa dalam belajar IPS, hal ini ditunjukkan dengan antusias
siswa yang menyatakan bahwa siswa tertarik dan berminat dengan pembelajaran
kooperatif model Numbered Head Together sehingga mereka menjadi termotivasi
untuk belajar.
3.
Pembelajaran kooperatif model Numbered Head Together
memiliki dampak positif terhadap kerjasama antar siswa, hal ini ditunjukkan
adanya tanggung jawab dalam kelompok dimana siswa yang lebih mampu mengajari
temannya yang kurang mampu.
Daftar Referensi :
Ali, Muhammad. 1996. Guru dalam Proses Belajar mengajar. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
Arikunto, Suharsimi. 1989. Pedoman Program Pendidikan. Proyek Pengembangan LPTK Depdikbud.
Dirjen Dikti.
________________. 1993. Manajemen Mengajar Secara Manusiawi. Jakarta : Rineksa Cipta.
________________. 1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineksa Cipta.
________________. 2001. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Combs. Arthur. W. 1984. The Profesional Education of Teachers. Allin and Bacon, Inc. Boston .
Dayan, Anto. 1972. Pengantar Metode Statistik Deskriptif. Lembaga Penelitian
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta :
Rineksa Cipta.
___________________. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta :
Rineksa Cipta.
Foster, Bob. 1999. Seribu Pena SLTP Kelas I. Jakarta : Erlangga.
Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Research. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta .
Hamalik, Oemar. 1992. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung : Sinar Baru.
_____________. 1999. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta :
PT. Bumi Aksara.
Hasibuan, JJ. Dan Moerdjiono. 1998. Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Margono. 1997. Metodologi
Penelitian Pendidikan. Jakarta :
Rineksa Cipta.
Mukhlis, Abdul. (Ed). 2000. Penelitian Tindakan Kelas. Makalah Panitian Pelatihan Penulisan
Karya Ilmiah untu, Guru-guru Se-Kabupaten Tuban.
Mursell, James. ( - ). Succesfull Teaching. (terjemahan). Bandung : Jemmars.
Ngalim, Purwanto, M. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya.
Nur, Moh. 2001. Pemotivasian
Siswa untuk Belajar. Surabaya .
University Press. Universitas Negeri Surabaya .
Poerwodarminto. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia .
Jakarta : Bina
Ilmu.
Rustiyah, NK. 1991. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta :
Bina Aksara.
Sardiman, AM. 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Bina Aksara.
Slamet. 1988. Evaluasi
Pendidikan. Bina Aksara.
Soekamto, Toeti. 1997. Teori Belajar dan Model Pembelajaran. Jakarta :PAU-PPAI, Universitas Terbuka.
Suryabrata, Sumadi. 1990. Spikologi Pendidikan. Yogyakarta :
Andi Offset.
Suryosubroto, B. 1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta : PT. Rineksa Cipta.
Syah, Muhibbin. 1995. Spikologi Pendidikan, suatu Pendekatan Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Usman, Moh. Uzer. 2001. Menjadi Guru Profesional. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Wetherington. HC. And WH. Walt. Burton . 1986. Teknik-teknik Belajar dan Mengajar. (Terjemahan) Bandung : Jemmars.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar