Banyak kalangan pendidikan menyatakan “Permasalahan mendasar kegagalan implementasi kurikulum ada pada proses pembelajaran di kelas”. Silabus sebagai pengejawantahan kurikulum agar guru melakukan proses pembelajaran di kelas, memegang peranan yang sangat penting.
Dalam kerangka implementasi kurikulum 2013 di uji publik, silabus akan disiapkan Kemendikbud dengan menyusun buku panduan guru. Silabus yang disiapkan akan disusun berdasarkan tema dan berisikan kompetensi dasar, indikator, kegiatan pembelajaran dan penilaian, alokasi waktu dan sumber belajar.
Melihat contoh silabus yang diberikan di uji publik, dapat dicermati sebagai berikut:
- Pembagian alokasi waktu yang “glondongan” disetiap minggu 35 menit x 30 jam pelajaran, berpotensi membingungkan para guru. Guru mesti merancang pembelajaran yang runut untuk menyampaikan kompetensi disetiap harinya. Kerunutan penyampaian kompetensi tersebut, sebuah sistematika agar siswa tidak menerima materi yang meloncat-loncat, kurang fokus pada tema dan guna memenuhi ketuntasan kompetensi.
- Indikator yang dibuat tertulis miskin variasi. Terlihat jumlah indikatornya saja yang banyak, tetapi sebetulnya sama, hanya objek dari materinya saja yang berlainan.
- Indikator untuk setiap kompetensi dasar, kebanyakan masih dalam satu ranah pembelajaran saja. Bagaimana mungkin siswa bisa membedakan karakteristik fisiknya dengan karakteristik orang-orang disekitarnya, tanpa dia mengenal terlebih dahulu elemen pembentuk karakteristik fisik dirinya, temannya, keluarganya dan sebagainya.
- Setiap kompetensi dasar belum secara holistik diukur pada domain sikap, ketrampilan dan pengetahuan. Misalnya: Kompetensi mendengarkan (B. Indonesia), yang diukur “Bagaimana siswa bersikap dan mengambil sikap duduk dalam mendengarkan”. Itu berarti siswa bisa menjaga ketenangan dan duduk dengan baik pun akan dinilai baik, walau pikirannya kemana-mana dan tidak bisa mengungkapkan lagi apa yang dibicarakan?!
- Ketidak sesuaian indikator dan kompetensi dasar, seperti pada kompetensi dasar PPKn tertulis “Menyajikan kebersamaan … dst” dengan indikator yang dipilih ada 3 dan sama semua, yaitu “Menyebutkan sikap kebersamaan … dst”
- Kegiatan pembelajaran dan penilaian yang tiba-tiba muncul, seperti “Di dalam kelompok siswa menyebutkan alasan pentingnya mandi, potong kuku dan gosok gigi” walaupun tidak ada kompetensi dasar yang dapat dikaitkan dengan kegiatan tersebut. Kalau memang kegiatan ini merupakan perwujudan dari kompetensi dasar PPKn “Mengetahui tata tertib … dst”, perlu dikhawatirkan, para siswa akan melakukan mandi, potong kuku dan gosok gigi karena aturan (paksaan eksternal) bukan tumbuh dari kesadaran kebutuhan kesehatan dirinya.
- Sebenarnya Kemendikbud sudah memiliki identifikasi dan melatih banyak guru tentang model-model pembelajaran. Ada puluhan model pembelajaran, tetapi dalam contoh silabus di uji publik, tak satupun model pembelajaran digunakan. Mengapa? Dikhawatirkan pelatihan guru dan kurikulum ini tidak nyambung dan akhirnya guru sendirilah yang harus menyambungkan.
- Kegiatan pembelajaran belum mengidentifikasikan siswa bisa belajar dengan menyenangkan. Padahal bagian ini bisa digunakan sekolah untuk mengarahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas yang menyenangkan. Di bagian ini bisa ditulis model-model pembelajaran dan kegiatannya di kelas. Misalnya: Model belajar dengan Sing a Song yang kegiatan belajarnya siswa bernyanyi “dua mata saya” disetai menunjukkan anggota badan yang sesuai. Model belajar permainan Angin Bertiup dengan kegiatan belajarnya siswa berpindah bila karakteristik individu yang disebutkan guru ada pada dirinya. Dan lain sebagainya.
- Belum adanya elemen penilaian dari setiap kompetensi dasar. Apalagi di kurikulum ini yang akan dinilai banyak berkaitan dengan sikap. Contohnya, elemen penilaian untuk mengetahui seberapa baik siswa sudah memiliki sikap khusuk dalam berdoa. Apabila elemen penilaian ini diserahkan kepada guru untuk merancangnya, bisa saja guru menetapkan bermacam-macam elemen penilaian, misalnya: Saat berdoa siswa tidak bicara dengan temannya, tidak senyum-senyum sendiri, atau siswa berdoa mesti terharu dan sambil mengeluarkan air mata.
- Belum ada identifikasi tentang siapa yang menilai hasil belajar siswa. Padalah dalam penilaian otentik, tidak mesti guru yang menilai, semua pemangku kepentingan bisa terlibat dalam penilaian. Dengan demikian, dikhawatirkan implementasi kurikulum baru akan berakhir seperti kurikulum sebelumnya yang lebih mementingkan angka dari penilaian test. Bagaimana mungkin “Siswa terbiasa berdoa sebelum dan sesudah belajar” hanya di nilai di sekolah saja. Apakah belajar itu hanya ada di sekolah? Tentunya tidak!
Mengingat banyaknya ketidak-konsistensian dalam silabus yang ditawarkan, Kemendikbud perlu kerja keras untuk menuntaskan perubahan kurikulum ini. Menurut jadwal, kegiatan setelah uji publik adalah sosialisasi dan pelatihan implementasi kepada para guru. Mungkin dari pengalaman yang lalu perlu ada pembahuruan cara, mengingat sudah banyaknya pelatihan yang diberikan namun manfaatnya tetap seperti yang kita rasakan bersama.
Mari kiranya kita dukung bersama, karena perubahan kurikulum merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan dalam mengikuti perkembangan zaman. Terakhir doa disertai harapan kepada Tuhan YME, agar para guru sebagai garda terdepan implementasi kurikulum 2013, benar-benar bisa merubah pelaksanaan pembelajarannya di kelas dengan lebih menyenangkan. Terimakasih.